Mengapa ada Uang?

Mengapa Ada Uang?
Di sebuah kampung di pedalaman Papua, di tepi hutan sagu dan dekat aliran sungai yang jernih, hiduplah seorang anak muda bernama Yonas. Sehari-hari ia membantu orang tuanya di kebun, mencari ikan di kali, dan memelihara babi. Hidup mereka sederhana, tidak ada listrik, tidak ada toko besar, dan jarang sekali uang mengalir di tangan.

Suatu sore, Yonas bertanya kepada ayahnya yang sedang menokok sagu:
“Bapa, mengapa orang-orang di kota selalu bicara tentang uang? Mengapa uang begitu penting?”

Ayahnya tersenyum, lalu duduk di atas batang sagu.
“Nak, dulu orang di sini tidak kenal uang. Kami saling tukar. Orang bawa ikan, tukar dengan ubi. Orang bawa garam dari pantai, tukar dengan babi kecil. Itu namanya barter. Tapi lama-lama orang susah menakar. Bagaimana kalau aku punya sekarung ubi, tapi hanya mau tukar dengan sehelai kain? Maka dibuatlah uang, supaya mudah.”

Yonas termenung.
“Lalu, apa yang terjadi kalau tidak ada uang, Bapa?”

Ayah menghela napas panjang.
“Kalau tidak ada uang, mungkin kita lebih dekat satu sama lain. Kita memberi karena butuh, bukan karena hitung-hitungan. Tapi bisa juga ribut, karena orang akan saling merasa ditipu. Tidak ada ukuran yang jelas.”

Keesokan harinya, Yonas mendengar kabar: ada orang kota yang datang membeli hasil kebun. Mereka membawa uang, lalu membeli puluhan karung kopi dan kakao. Orang kampung gembira, sebab mereka merasa kaya dengan lembaran kertas berwarna. Namun beberapa bulan kemudian, mereka bingung. Uang itu habis untuk membeli barang-barang dari kota, sementara kebun mereka kosong karena semua hasil sudah dijual.

Yonas mulai mengerti. Dunia dengan uang tidak selalu menjamin bahagia.
Malam itu ia berkata kepada ibunya:
“Mungkin hidup tanpa uang lebih baik, Mama. Kita saling bantu, saling bagi. Apakah barter bisa membuat hidup damai?”

Ibunya menjawab pelan sambil mengipasi api tungku:
“Barter bisa membantu, Nak. Tapi damai bukan soal cara tukar-menukar. Damai lahir kalau hati orang mau berbagi, bukan menimbun.”

Yonas terdiam. Ia teringat cerita tentang seorang pemuda dari kampung sebelah yang terbunuh hanya karena berebut uang hasil jual babi. Ia lalu bertanya pada dirinya sendiri:
“Mengapa selembar kertas lebih berharga dari nyawa manusia?”

Pertanyaan itu menancap dalam hatinya. Yonas tahu, uang hanyalah alat, bukan tujuan. Uang bisa dipakai untuk membeli beras, pakaian, dan obat. Tetapi uang juga bisa membuat orang buta hati, saling mengkhianati, bahkan tega mengorbankan saudara sendiri.

Malam itu, di bawah cahaya obor, Yonas berjanji dalam hati:
“Aku akan hidup bukan untuk uang, tapi untuk cinta kasih. Biar uang jadi alat, bukan tuan. Hidupku lebih berharga daripada selembar kertas.”


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama