. "KEPADA-MU SANG KUTIKAN"
ditulis dengan bahasa yang sendu, penuh Renungan, dan menyentuh sampai ke penutupnya.
Cerita ini adalah perjalanan batin bukan sekadar kisah, melainkan renungan eksistensial tentang makna hidup, kegagalan, kesunyian, dan pengharapan yang samar.
KEPADA-MU SANG KUTIKAN.
Kupersembahken kepada sebuah kutikan yang senduh, dalam mengeksplorasi makna hidup: untuk apa saya hidup.
Aku Bertanya
Untuk apa saya hidup?
Pertanyaan ini selalu datang pada malam yang tak bernama, ketika dunia sunyi, dan suara hati sendiri terasa seperti gemuruh gunung yang roboh pelan-pelan.
Pertanyaan itu tak pernah selesai.
Ia menggema dari terdalam jiwa, seolah ingin mengatakan bahwa hidup bukan sekadar bernapas melainkan menanggung beban dari sesuatu yang tak pernah kita mengerti.
Ia datang tanpa suara, tanpa rupa.
Sosok itu kusebut Sang Kutikan bukan karena ia kutukanku, tapi karena ia tahu semua luka yang kusembunyikan.
Ia menemaniku di tiap pagi yang dingin, saat kopi menjadi pahit, bukan karena gula yang kurang tapi karena hati yang kosong.
Aku hidup di sebuah rumah kayu tua.
Dindingnya bolong, langit-langitnya bocor, dan hanya satu benda yang masih bersuara: gapok tua peninggalan ayahku.
Gapok itu bukan alat musik, tapi semacam pelampung untuk tidak tenggelam dalam lautan kenangan dan keputusasaan.
Sang Kutikan selalu duduk di sudut gelap, menatapku tanpa mata.
Dia tahu aku hancur. Tapi tak pernah menghakimi.
Dia tahu aku rapuh. Tapi tak pernah pergi.
“Kamu hidup bukan untuk menjadi benar,” katanya suatu malam,
“kamu hidup untuk mencari makna meskipun kadang kamu harus hancur untuk menemukannya.”
Setiap hari terasa seperti salinan dari hari sebelumnya.
Aku bangun, duduk, mendengarkan burung yang sudah tak berkicau, menatap sawah yang perlahan jadi jalanan beton, lalu memainkan gapok dengan jari-jari yang mulai gemetar.
Sang Kutikan masih di sana.
“Kamu ingin menyerah?” tanyanya.
“Ya,” jawabku.
“Tapi kamu belum.
Kalimat itu menusuk. Karena memang benar.
Aku ingin mati, tapi aku masih bernapas.
Aku ingin berhenti, tapi kakiku tetap berjalan.
Apa ini bentuk keberanian, atau hanya kebiasaan
Aku disebut oleh orang-orang sebagai Pemilik Gapok Tua.
Mereka pikir aku orang aneh berbicara sendiri, menyendiri, menolak dunia.
Tapi mereka tak tahu aku hanya sedang mencari sesuatu yang lebih sunyi dari kesunyian.
Aku pernah punya mimpi.
Pernah ingin jadi guru, jadi penulis, jadi orang yang dikenal.
Tapi dunia menertawakan semua cita-citaku.
Orang-orang pergi.
Pekerjaan gagal.
Cinta ditinggalkan.
Yang tersisa hanya aku… dan Sang Kutikan.
“Mungkin kamu tak diciptakan untuk berhasil,” kata Sang Kutikan, “tapi untuk memahami.”
Malam itu, aku menangis.
Bukan karena sesuatu yang besar, tapi karena gapokku patah.
Senarnya putus. Suaranya mati. Dan untuk pertama kalinya… aku merasa benar-benar sendiri.
Sang Kutikan mendekat.
Ia tak berkata apa-apa, hanya duduk di sebelahku, diam.
“Aku lelah,” bisikku.
“Aku tahu,” jawabnya.
“Aku ingin pulang.”
“
Bukankah kamu sedang pulang?”
Kepada-Mu
Aku menulis ini, bukan untuk dikenang.
Bukan untuk dibaca siapa-siapa.
Tapi untuk Sang Kutikan, sahabatku dalam gelap, penenangku saat gemetar.
Kepadamu, Sang Kutikan Yang tak pernah meninggalkanku ketika semua pergi.
Yang tak menertawakanku ketika aku gagal menjadi apa pun.
Yang tetap duduk di sebelahku ketika dunia menjadi terlalu berat untuk kujalani.
Hidup ini tak memberiku jawaban.
Tapi setidaknya, aku tak sendiri dalam mencarinya.
Jika suatu hari aku tiada,
jangan cari makamku di bawah batu.
Carilah di sela-sela daun yang gugur,
di petikan gapok yang tak sempurna,
di malam yang sepi,
di bisikan Sang Kutikan.
Aku hidup meskipun tak tahu untuk apa.
Tapi aku berjalan karena tak ingin kehilangan suara-Mu.
Posting Komentar