Setiap manusia… pada suatu waktu… akan sampai di persimpangan sunyi.
Di sanalah… pertanyaan itu muncul…
"Untuk apa aku hidup di dunia ini?"
Pertanyaan itu… bukan sekadar kata,
melainkan pintu yang memanggil jiwa untuk masuk ke ruang terdalamnya.
Dunia ini… adalah labirin yang rumit,
penuh lorong gelap… dan jalan bercabang.
Tantangan bukanlah penghalang…
melainkan penanda… bahwa kita sedang bergerak.
Hari itu1 Agustus 2025.
aku tidak hanya berjalan secara fisik
aku dibawa berjalan dalam batin.
Seorang kaka yang bagiku adalah guru…
menggiringku menuju tepian Danau Sentani.
Sebuah kedai kecil berdiri di sudutnya,
diam… nyaris terlupakan oleh langkah orang.
Namun di sanalah kami menemukan ruang yang tak sekadar tempat,
tapi cermin bagi jiwa.
Air danau beriak pelan
mengajarkan bahwa gerak yang tenan..
tetap mampu membentuk gelombang.
Burung tala melintas di udara…
seakan mengingatkan… bahwa kebebasan adalah milik mereka yang berani terbang.
Ikan-ikan di kedalaman diam
namun setia menjaga keseimbangan ekosistemnya
seperti jiwa yang damai,
menjaga harmoni kehidupan.
Kursi rotan tua menjadi singgasana sederhana,
menopang tubuh kami yang letih mencari jawaban.
Di atas meja, segelas kopi hitam…
pahitnya meminta gula yang manis.
Begitulah hidup
tak pernah utuh tanpa keseimbangan antara perih dan sukacita.
Aku hanyalah seorang adik
yang sering membuat hati gurunya kecewa.
Namun darinya, aku belajar sebuah filsafat yang tak tertulis dalam buku:
bahwa mengampuni tanpa diampuni…
mengasihi tanpa dikasihi…
dan memberi tanpa menunggu kembali…
adalah jalan sunyi yang hanya ditempuh jiwa-jiwa besar.
Kakak adalah pionir langkahku,
penunjuk arah di rimba batin yang penuh ilalang kebingungan.
Dan bila aku pernah membuat hatinya sedih
ia tetap menerimaku,
sebagai manusia yang sedang belajar menjadi manusia.
Sebab tujuan hidup…
bukanlah sekadar mencapai puncak…
tetapi mengerti arti setiap langkah di jalan menuju puncak itu.
"Diam sejenak biarkan makna meresap"
Sentani 01/08/2025
Posting Komentar