Dibukit Uncen




Matahari perlahan tenggelam di balik cakrawala, memancarkan warna oranye keemasan yang membelai bukit Uncen dengan lembut. Angin sore menyapa kulit dengan sejuk, membawa aroma khas pepohonan dan rerumputan yang basah oleh embun sore. Di salah satu sudut bukit itu, seorang lelaki muda duduk seorang diri, memeluk lututnya, memandang jauh ke cakrawala yang kini mulai menurun. Namanya Yan, seorang pemuda asal Paniai yang memikul harapan besar, namun hatinya kini dipenuhi rasa cemas.

Sudah bertahun-tahun lamanya ia memendam rasa pada gadis impiannya, Mery. Gadis itu adalah teman kuliahnya, seorang yang selalu tampil sederhana, namun mampu menyihir hatinya sejak pertama kali mereka bertemu. Namun, Yanuarius selalu terbelenggu oleh ketakutan. "Bagaimana jika dia menolak? Bagaimana jika aku tak cukup baik untuknya?" gumamnya dalam hati setiap kali berniat untuk mengungkapkan perasaannya.

Hari ini, di awal tahun yang baru, ia memutuskan untuk mengubah segalanya. "Tak peduli bagaimana hasilnya, aku harus mengatakannya," bisiknya pada dirinya sendiri. Dengan tangan gemetar, ia menatap layar ponselnya, membaca ulang pesan yang telah ia ketik sejak semalam.

"Mery, aku ingin bicara. Temui aku di bukit Uncen sore ini."

Pesan itu akhirnya terkirim, dan setelah beberapa menit yang terasa seperti seabad, Mery menjawab singkat, "Oke."

Matahari kini sepenuhnya tenggelam, dan lampu-lampu kota Jayapura mulai menyala di kejauhan. Yan mendengar langkah kaki mendekat. Ia menoleh dan melihat Mery berjalan ke arahnya, mengenakan sweater biru tua dan celana jeans. Senyumnya yang biasa menyapa kini terasa jauh, seakan sudah tahu apa yang akan terjadi.

"Ada apa, Yan?" tanyanya lembut, duduk di sampingnya.

Yan menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan degup jantungnya yang seolah berlomba dengan detik waktu. "Mery, aku ingin mengatakan sesuatu yang sudah lama aku pendam," katanya, suaranya sedikit bergetar.

Mery diam, menunggu dengan ekspresi tenang, sementara Yan melanjutkan, "Aku sudah menyimpan rasa ini sejak lama. Aku menyukaimu, Mery. Bahkan mungkin lebih dari itu. Aku ingin kita lebih dari sekadar teman."

Hening. Kata-kata itu menggantung di udara, mengiringi suara jangkrik dan desir angin yang tiba-tiba terdengar begitu keras.

Mery menatap Yanuarius dengan tatapan penuh iba. "Yan, aku menghargai keberanianmu. Tapi... aku tidak bisa menerima perasaanmu," jawabnya pelan namun tegas.

Seperti duri yang menancap di hatinya, Yanuarius merasa dunia seolah runtuh. "Kenapa, Mery? Apa aku kurang baik untukmu?" tanyanya, suaranya hampir berbisik.

"Bukan begitu, Yan. Kau orang yang baik, sangat baik. Tapi aku tidak punya perasaan yang sama. Dan aku tidak ingin memberi harapan palsu," jawab Mery dengan mata yang kini berkaca-kaca.

Yan mengangguk pelan, mencoba tersenyum meski hatinya terasa hancur. "Aku mengerti. Terima kasih sudah jujur," katanya, meski setiap kata yang keluar terasa seperti menambah luka di hatinya.

Mery berdiri, menepuk bahunya dengan lembut. "Kau akan menemukan seseorang yang tepat, Yan. Percayalah."

Dan dengan langkah yang perlahan, Mery pergi meninggalkannya di sana, sendirian dengan malam yang semakin larut.

Yan menatap punggungnya yang semakin jauh, menyadari bahwa cinta yang ia pendam selama ini hanyalah sebuah kisah yang tak pernah memiliki awal, apalagi akhir yang bahagia.

Malam itu, di atas bukit Uncen, Yanuarius belajar sebuah pelajaran pahit tentang cinta. Bahwa keberanian untuk mengungkapkan perasaan adalah langkah besar, tetapi menerima kenyataan adalah langkah yang jauh lebih besar.

Malam semakin larut ketika Yan akhirnya memutuskan untuk beranjak dari bukit Uncen. Ia menghela napas panjang, menatap kota Jayapura yang mulai diselimuti lampu-lampu jalanan. Dengan langkah yang perlahan, ia berjalan menuju motornya yang diparkir tak jauh dari sana. Sebuah motor bekas berwarna merah yang telah menemaninya selama tiga tahun terakhir. Meski sudah tua dan sering mogok, motor itu adalah salah satu benda yang paling ia hargai dibeli dari hasil kerja kerasnya sebagai asisten dosen.

Yan memasukkan kunci ke lubang kontak, memutar perlahan, dan mesin motor menderu dengan suara serak khas kendaraan tua. Angin malam yang dingin menyapa wajahnya ketika ia mulai melaju menuruni jalanan bukit. Lampu motor yang sedikit redup menembus gelap, menerangi aspal di depannya.

Sepanjang perjalanan, pikirannya melayang kembali ke pertemuannya dengan Mery. Kata-kata gadis itu terus terngiang di telinganya. "Kau akan menemukan seseorang yang tepat, Yan." Ia ingin percaya, tapi luka di hatinya masih terlalu segar untuk membayangkan apa pun selain rasa kecewa.

Setibanya di jalan utama, Yan mempercepat laju motornya. Jalanan lengang membuatnya merasa semakin kesepian. Namun, di balik rasa sedih itu, ada secercah rasa lega. Setidaknya ia telah mencoba, telah berani mengungkapkan apa yang ia rasakan, meski hasilnya tak seperti yang ia harapkan.

Tak lama kemudian, ia sampai di asrama Padang, tempat ia tinggal selama menjadi mahasiswa di Jayapura. Bangunan sederhana itu tampak sunyi, hanya diterangi oleh beberapa lampu kuning temaram. Yan memarkir motornya di sudut halaman, lalu mematikan mesin.

Ia duduk sejenak di atas motor, memandang langit yang dipenuhi bintang. "Mungkin malam ini bukan milikku," gumamnya, mencoba menghibur diri. "Tapi hidup masih panjang. Masih ada hari esok."

Dengan langkah lelah, ia masuk ke asrama, melewati lorong panjang menuju kamarnya. Di dalam, ruangan kecil itu menyambutnya dengan keheningan. Buku-buku, pakaian, dan gitar tuanya berserakan di sana-sini. Yan menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur tanpa melepas jaket, menatap langit-langit dengan mata yang kosong.

Ia tahu malam ini ia harus menghadapi rasa kecewa, tetapi ia juga tahu bahwa kehidupan tidak akan berhenti di sini. Di Paniai, ia belajar dari tradisi leluhurnya bahwa hidup adalah perjalanan panjang yang penuh liku. Setiap luka dan setiap tawa adalah bagian dari perjalanan itu.

Yan menutup matanya, membiarkan rasa letih menguasai tubuhnya. Dalam hati kecilnya, ia berjanji, "Suatu hari nanti, aku akan menemukan cinta yang benar-benar untukku. Tapi untuk saat ini, aku hanya ingin tidur."

Dan malam itu, di bawah langit Jayapura yang penuh bintang, Yanuarius melangkah ke babak baru dalam hidupnya, meninggalkan cinta yang tak pasti di belakang, bersama dengan sisa-sisa harapan yang pernah ia bangun.




Post a Comment

Lebih baru Lebih lama