
Tanah Tabi seperti seorang mama tua merawatku dengan kasih yang tak bertepi. Ia menimang tubuhku dengan sungai, memberi napas lewat hutan dan lautnya.
Ikan loyan, pisang koya, adalah doa yang disajikan di setiap pagi. Di sanalah aku belajar,
bahwa manusia dan tanah saling menjaga, saling memberi hidup.
Di kala itu Sabtu, 1 November. Langit Numbay diam, seolah menunggu sesuatu.
Dalam keheningan itu, kudengar suaramu menyapa:
“Amooo… ko jemput sa di Sentani, kah?”
“Jangan tipu sa, eh…”
“Benar, amoi… kali ini bermalam di rumahmu.”
Aku terdiam.
Bukan karena tak ingin, tapi karena di rumah hanya ada sesisir pisang
dan tikar tua tempat aku biasa bermimpi.
Namun hatiku bergetar juga
ada rindu yang datang dari jauh, mengetuk pintu sederhana bernama persahabatan.
Aku bergegas menuju bandara, menyimpan harap di saku kemeja.
Masih kuingat, tabunganku tinggal seratus ribu. Namun saat ATM menampakkan angka kosong,
hatiku seperti daun kering tersapu angin.
Aku tersenyum pahit.
Biarlah.
selama aku masih bernafas, waktu akan menjawab segalanya.
Aku teringat kata-kata Kuguba:“Waktu lebih perkasa dari semua yang hidup di dunia.”
Maka aku berjalan, meninggalkan kekosongan itu, menuju Sentani tempat rindu dan kenangan bertemu.
Di jalan utama bandara, aku melihat sosok itu datang.
Kami berpelukan erat, seolah waktu berhenti berputar.
“Aaaa Ani wene kipooo motii…”
Tawa kecil menutup luka-luka lama.
Kami pun melaju bersama, menempuh jalan berliku menuju Padang.
Guru menatap honai kecil tempat aku tinggal, matanya berbinar lembut:
“Luar biasa Nabire. Pemerintah yang tahu cara mendengar hati rakyatnya.”
Aku menjawab pelan:
“Honai Padang ini tempat di mana aku belajar bersyukur, Guru.
Di sini, angin pun mengajarkan arti bertahan.”
Sore itu, kami menanjak ke bukit Angkasa, ingin memandang Numbay dari pelukan langit.
Tiba-tiba rantai motor putus namun bagi kami, itu bukan bencana,
melainkan jeda kecil dalam lagu perjalanan.
Dua lelaki berhati baik datang membantu,
dan aku tahu: masih ada kebaikan yang tumbuh di jalan-jalan Papua. Langit berubah jingga,
laut berkilau seperti kaca.
Kami duduk diam, membiarkan cahaya terakhir menyapu wajah dan kenangan kami.
“Jaga diri baik-baik, ee amoii…” “Pertemuan kali ini seperti mimpi, tapi akan ku menanti di ujung matahari terbit.
Bila kau mengingatku,tunggulah aku di ujung Papsel.”
Matahari tenggelam perlahan, meninggalkan warna merah di hati kami.
Kami berpisah tanpa kata, hanya embusan angin yang berkata:
“Tidak semua pertemuan butuh janji, kadang cukup dengan kenangan yang tetap hidup di ujung Numbay.”
Numbay, 03 November 2025
Tags
Kisah inspirasi