( Gambar ini diambil dari komonitas fotografer Papua,s Photos:Lukas Uwiya)
Tulisan ini berdasarkan : Hasil observasi pengalaman, perjalanan batin, kumpulan literatur relevan dan suatu studi empiris berdasarkan fenomena yang terjadi masa kini terhadap kaum budak.
Di atas tanah yang subur dan kaya akan emas, hutan, dan laut, banyak anak Papua bekerja dari pagi hingga senja demi sepiring nasi. Mereka menanam, menebang, berdagang kecil, menjadi buruh, atau menjaga jalanan kota bukan karena mereka malas berpikir atau enggan belajar, tetapi karena sistem yang menaungi mereka terlalu lama diatur tanpa mendengar suara mereka.
Di sinilah lahir istilah yang menyakitkan namun nyata: “budak nasional.” Sebutan ini bukan berarti manusia Papua adalah budak secara hukum, melainkan cerminan keadaan sosial di mana kerja keras mereka diabaikan, dan hasilnya dinikmati oleh mereka yang berkuasa. Dalam sistem seperti ini, kekuasaan seringkali menyembunyikan kelicikannya di balik kata “pembangunan”.
Pembangunan di Papua sering ditampilkan dalam bentuk gedung baru, jalan raya, dan bandara. Namun di balik itu, masyarakat adat masih berjuang mempertahankan tanahnya, hak hidupnya, dan harga dirinya. Banyak program pelatihan dan pendidikan hadir hanya sebagai formalitas tanpa memperhatikan bahasa lokal, nilai adat, dan kebutuhan nyata masyarakat.
Bahkan dalam dunia kerja formal, diskriminasi masih dirasakan. Beberapa laporan lembaga hak asasi manusia menyebutkan bahwa masyarakat Papua seringkali menghadapi stereotip negatif, penolakan kerja, atau kesenjangan upah dibanding pekerja dari luar daerah. Diskriminasi semacam ini bukan hanya melukai perasaan, tetapi juga menghancurkan potensi sumber daya manusia (SDM) lokal yang sebenarnya sangat kuat dan tangguh.
Fenomena ini lahir dari cara berpikir (paradigma) petinggi dan pemegang jabatan yang sering memandang rakyat kecil hanya sebagai angka statistik. Mereka mengatur kebijakan dari ruang ber-AC, sementara rakyatnya berkeringat di ladang. Kekuasaan seperti ini memelihara ketimpangan melalui sistem yang licik memberikan bantuan sesaat, proyek sementara, atau janji pembangunan, namun tidak mengubah struktur yang membuat rakyat tetap tergantung.
Dalam budaya Papua, seorang pemimpin sejati tidak dilihat dari jabatannya, tetapi dari kepeduliannya pada masyarakatnya. Namun dalam sistem pemerintahan modern yang sering bias terhadap budaya lokal, banyak pemimpin Papua yang berkinerja baik tidak dihargai sebagaimana mestinya. Mereka sering terjebak dalam birokrasi yang menilai kinerja dari kedekatan politik, bukan dari pelayanan terhadap rakyat.
Banyak masyarakat Papua masih merasakan diskriminasi dalam tiga bidang utama:
- Pendidikan Akses pendidikan tinggi masih terbatas, terutama di daerah pedalaman. Banyak anak harus berjalan jauh untuk sekolah, sementara fasilitas sekolah di kota besar lebih lengkap.
- Lapangan kerja Perusahaan besar di tanah Papua lebih banyak mempekerjakan tenaga kerja dari luar. Orang asli Papua sering dianggap “kurang kompeten”, padahal mereka hanya belum diberi kesempatan yang adil untuk belajar dan berkembang.
- Pengakuan budaya dan tanah adat Banyak wilayah adat dirampas untuk proyek pertambangan atau perkebunan. Akibatnya, masyarakat kehilangan sumber penghidupan dan identitasnya.
Diskriminasi ini bukan sekadar perbedaan perlakuan, tetapi telah menjadi sistem yang membuat banyak orang Papua merasa asing di tanahnya sendiri.
Dalam konteks nasional, ketimpangan di Papua menunjukkan bahwa pembangunan SDM Indonesia belum sepenuhnya merata. Pemerintah sering menilai SDM dari angka jumlah sarjana, pekerja, atau produktivitas ekonomi tanpa memahami nilai manusia dalam konteks budaya lokal.
Padahal, pengembangan SDM sejati adalah tentang membangun manusia yang berdaya, bukan sekadar meningkatkan angka statistik. Diskriminasi yang dialami orang Papua telah menghambat proses ini. Banyak anak muda yang cerdas, kreatif, dan berjiwa kepemimpinan tidak dapat menyalurkan potensi mereka karena sistem yang tertutup dan tidak adil.
Jika NKRI sungguh ingin berkembang, maka pembangunan SDM tidak boleh mengabaikan Papua. Karena kemajuan bangsa ditentukan oleh sejauh mana kita menghargai manusia di tempat yang paling jauh dan paling sunyi.
Kajian ini tidak dimaksudkan untuk menuduh atau memusuhi siapa pun, tetapi untuk membuka kesadaran bersama. Rakyat Papua bukan korban yang lemah mereka adalah manusia yang tangguh, yang terus bekerja dan berdoa di tanah leluhur mereka. Yang dibutuhkan sekarang bukan belas kasihan, tetapi pengakuan dan keadilan.
Kesadaran baru harus tumbuh dari dua arah.
Dari atas (pemerintah/petinggi): menyadari bahwa pembangunan sejati adalah mendengarkan rakyat, bukan sekadar memberi proyek.
Dari bawah (rakyat): menolak tunduk pada sistem yang menindas, dengan terus belajar, bersatu, dan membangun daya saing lewat pendidikan dan solidaritas komunitas.
Hidup di atas tanah yang penuh diskriminasi bukanlah pilihan, melainkan kenyataan pahit yang diwariskan oleh sejarah panjang ketidakadilan. Namun masa depan tidak boleh dibiarkan berjalan dengan luka yang sama.
Sudah saatnya bangsa ini meninjau kembali arah pembangunannya. Pemerintah harus berhenti memperlakukan masyarakat Papua sebagai “objek bantuan”, dan mulai menganggap mereka sebagai subjek utama pembangunan. Karena di balik kulit yang hitam dan rambut yang keriting, ada manusia Papua yang berpikir, bermimpi, dan bekerja keras untuk bangsanya.
Dan selama “sepiring nasi” masih diperoleh dengan keringat tanpa penghargaan, maka kita semua baik penguasa maupun rakyat masi.h hidup dalam sistem yang memperbudak.
Penulis;
Mikael Tigi pemuda Papua, pemerhatian budaya, keadilan sosial, dan teologi kontekstual.
Tempat: jln.Padang. Asnab 07
Tanggal: 26 Oktober 2025.