Kedai Kayu yang Nyaman


Aku duduk di tempat biasa, di pojok kedai kecil yang sudah mulai jarang dikunjungi orang. Di meja kayu yang sedikit retak, ada secangkir kelapa muda tanpa soda teman setia yang selalu kuminta. Rasanya sederhana, manis alami, tanpa tambahan apa pun, seperti kenangan lama yang tak pernah ingin kulupakan.

Angin sore berembus pelan, membawa suara obrolan samar dari meja sebelah. Tapi aku lebih sibuk dengan pikiranku sendiri, menatap ke arah jalan yang sepi. Sesekali, kendaraan melintas, membawa cerita yang tak kuketahui, lalu menghilang begitu saja, seperti semua yang pernah singgah di hidupku.

Di sini, aku merasa bebas, meski tidak benar-benar. Tempat ini seolah menjadi saksi bisu pertempuran kecilku dengan diri sendiri. Aku berpikir, kenapa dunia ini selalu tampak berlari, sementara aku hanya duduk diam, terjebak di ruang antara keinginan dan kenyataan?

Kelapa tanpa soda ini seperti aku—hanya ingin apa adanya, tanpa tambahan atau paksaan untuk menjadi sesuatu yang lebih. Tapi dunia selalu ingin lebih. Selalu memintaku untuk berubah, berlari lebih cepat, dan bermimpi lebih tinggi.

Aku menyeruput perlahan, rasa manisnya mengingatkanku pada hal-hal kecil yang pernah membuatku bahagia. Tapi keheningan ini, meski menenangkan, tak bisa sepenuhnya menghilangkan gemuruh di dalam hati. Ada sesuatu yang kurindu, mungkin bukan tempat, bukan juga seseorang. Mungkin aku merindukan versi diriku yang dulu, yang percaya bahwa semua ini memiliki tujuan.

Di tempat ini, di antara secangkir kelapa tanpa soda dan angin sore, aku bertanya-tanya: sampai kapan aku duduk di sini, berharap waktu akan menjawab pertanyaan yang bahkan aku sendiri tak tahu bagaimana memulainya?

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama